Senin, 30 Maret 2009

Bukan Siapa Siapa

Aku bukan merpati, yang terbang bebas di alam luas

Cintaku bukan karang,yang keras menggumpal

Perihku bukan luka,yang terpendam

Hidupku bukan jiwanya, sang pujaan hati

Ombak berbuih, bergulung, menyapa pantai

Angin mendesir, membelai hening

Benci merasuk hati, saat jiwa terluka

Karena cinta yang berujung penyesalan

Mengapa benci harus mewarnai cinta?

Sanggupkah kutepis amarah yang membekap otak?

Mampukah kulangkahkan kaki ke arah yang semestinya?

Biarlah malam tak pernah berakhir

Dan ombak di laut terus bergelombang

Namun cintaku tak akan milik siapa pun,

tidak untuk siapapun

Karena tak seharusnya aku terluka karena cinta

Karena tak semestinya kuratapi perih yang bukan jalanku

Juga karena aku bukan siapa siapa….

Yang pantas untuk mencintai dan dicintai

**


*Ayu Retno Lestari - Siswi SMP YPS

J a n j i



“Jika kau berjanji, berusahalah sekuat tenaga menepatinya. Dan jika ternyata kau tak sanggup, minta maaflah!”

Kata-kata Ika itu terus saja menggema di ruang benakku. Mungkin karena emosi.

Langit di atas danau Matano sudah jingga. Matahari sebentar lagi terbenam. Pantai Ide mulai sepi. Semua pengunjung sudah pulang. Tinggal aku sendirian. Tapi ia belum juga muncul. Padahal sudah lebih sejam aku menunggunya di sini.

Sudah lebih dari lima kali pula aku coba menghubunginya, tapi hpnya tidak aktif.

“Tepati janji, tepati janji….mana? Bulshit!” sungutku sambil menghempaskan pantatku di atas tembok tepi pantai.

“Atau mungkin dia lagi sibuk ya?” kataku kemudian, mencoba meredam kesal.

Angin sepoi-sepoi berhembus. Pe-mandangan pantai Ide indah sekali. Kucoba menikmatinya sendiri.

Sudah sekitar enam bulan ini, setiap Minggu sore aku dan Ika ke sini, ngobrol sambil menikmati keteduhan Pantai.

Aku sebenarnya awalnya kurang suka berada di tempat sepi seperti ini. Aku lebih suka ngumpul sama teman-teman. Ikalah yang membuatku betah, lalu ketagihan, nongkrong di sini.

Persahabatanku dengannya belum terlalu lama, belum genap setahun.

Di kelas I kami beda kelas, jadi tidak saling kenal. Nanti di kelas II ini, kami sekelas.

Cewek kurus itu pintar dan tenang. Kalau diajak bicara, lebih banyak tersenyum. Kontras sekali dengan aku yang cerewet dan temperamental.

Baru sebulan kami sekelas, kami langsung akrab. Aku suka dengan gayanya,

meski menurut teman-teman kampungan. “Nda’ gaul!” kata mereka.

Aku tak peduli. Aku pun tak peduli dengan gosip yang beredar bahwa Ika menderita penyakit menular yang sangat berbahaya.

“Benar. Sejak kecil aku sudah kena paru-paru basah!” katanya saat ia ku-konfirmasi tentang gosip itu.

Saat mengatakan itu, ia ter-senyum, tenang. Tak sedikit pun kesedihan tergambar di wajahnya. Dan itu membuatku kagum.

Kami semakin akrab. Setiap kali aku dapat masalah, aku curhat ke dia.

“Semua orang tua ingin mem-berikan yang terbaik untuk anaknya. Kalau permintaanmu belum mereka penuhi, pasti karena mereka punya pertimbangan sendiri,” katanya saat kuungkapkan kekesalanku pada ortuku yang tak mau membelikanku laptop.

Banyak sekali kata-katanya yang selalu kuingat, termasuk soal janji. Nasehat itu ia berikan saat aku berantem dengan teman-teman gara-gara janji yang tak kutepati.

Sebaliknya, aku tak pernah men-dengar keluhannya. Saat aku bertanya tentang itu, ia pun hanya tersenyum.

“Aku lahir bersama penyakit yang terus menggerogotiku. Ayahku bukan karyawan Inco, cuma karyawan biasa di kontraktor, jadi aku tak bisa bersenang-senang seperti kalian. Tapi aku tak punya alasan untuk mengeluh. Hidup ini indah. Mustahil Tuhan menciptakanku untuk menderita!” katanya.

Sedikit demi sedikit, sifat tempera-mentalku menurun. Aura ketenangan Ika agaknya mempengaruhiku.

Aku pun mulai menjauhi kebia-saanku ngumpul dengan teman-teman, berteriak-teriak, maleda’-leda’.

Dan suatu sore, ia mengajakku ke Pantai Ide. Dari situlah aku mulai ketagihan.

Ada saatnya kita harus me-nyendiri, jauh dari keramaian!” katanya saat pertama kali kami ke sini sore itu.

Aku ingat, terakhir kali kami di sini, Minggu sore lalu, ia lebih banyak diam. Matanya menatap langit, seolah menerawang sesuatu di sana.

Dan hari Jum’at lalu, sebelum berpisah sepulang sekolah, seperti biasa kami janjian untuk kembali bertemu di sini sore ini.

“Mungkin memang dia tidak bisa datang!” batinku.

Aku lalu berdiri, bersiap pulang. Tapi saat membalikkan badan, kulihat Ika berjalan ke arahku. Wajahnya tampak pucat.

“Kau sakit ya?” tanyaku khawatir begitu ia tiba.

Dia tersenyum seperti biasa.

“Penyakitku kambuh tadi siang. Tapi sekarang sudah baikan. Sori, di rumah lagi ada acara, jadi aku tak bisa datang tepat

waktu,” katanya.

“kenapa tidak istirahat saja di rumah?” kataku lagi.

“Tidak apa-apa ji. Tapi maaf, aku harus segera pulang lagi. Keluargaku menunggu. Tadi aku ke sini naik ojek. Tuh tukang ojeknya nunggu di atas!” katanya.

“Iya ya…pulanglah cepat. Minum obat terus langsung bobo, ya?” pesanku.

Ia mengangguk, tersenyum, lalu berbalik, berjalan meninggalkanku dengan langkah cepat, sampai punggungnya menghilang dari pan-danganku.

“Sudah maghrib. Aku juga harus pulang sekarang!” gumamku, lalu melangkah menuju sepeda motorku yang terparkir di bawah pohon dengen.

Di perjalanan, perasaanku tidak enak. Wajah Ika terus mem-bayangiku. Di pertigaan, kubelokkan motorku, menuju rumahnya. Firasatku menuntunku.

Pekarangan rumah Ika tampak ramai. Sebuah tenda biru berdiri, menaungi jejeran kursi plastik. Perasaanku semakin tak enak. Ku-hentikan sepeda motorku, lalu turun.

Ibu Ika menyambutku.

“Ika sudah pergi, Nak. Tadi siang dia menghembuskan nafas ter-akhirnya!” katanya sambil menangis.

Hah? Tadi siang? Lalu yang barusan menemuiku di Pantai Ide siapa?

Pandanganku gelap. Badanku lemas. Aku langsung jatuh tak sadarkan diri. (*) Buat Anto : “Kematian bukan akhir. Sampai jumpa di kehidupan berikut, Bro!”




M.D. Zaky


Pilih Ka’ Leh!

Kampung gempar. Aco’ biangnya. Juragan ayam potong yang terkenal sekke’ dan galak ini, tiba-tiba berubah menjadi

sosok yang ramah dan dermawan.


“Benar nih, Pak Aco’?” tanya Aci heran.

Pedagang pasar ini hampir tak percaya dengan apa yang dialaminya. Ia diberi diskon 25 persen untuk pembelian ayam potong Aco’.


Maklum, selama ini sang juragan ayam dikenal paling pelit, tak pernah mau cippe’ biar 5 rupiah.


Yang ditanya tersenyum, sambil menganggukkan kepala.


Hanya dalam hitungan jam, peristiwa langka itu langsung ter-sebar ke seluruh kampung. Nama Aco’ pun melambung tinggi, menjadi buah bibir.


Siapa saja yang bertemu dengannya di jalan, disapanya de-ngan ramah. Masjid-Masjid ia sumbang. Tetangga yang miskin, ia bantu.


Sekitar 2 minggu kemu-dian, foto Aco’ terpampang di sebuah pamflet besar di tepi jalan. Ooo…ternyata sang juragan maju ke pemilihan legislatif.

“Pantas!” komentar warga.

“Pilih ka’ leh!” katanya kepada orang-orang, dengan se- nyum malu-malu.

Begitulah. Musim Pemilih-an Anggota Legislatif selalu luar biasa, bisa merubah siapa saja.

Orang-orang boleh saja mencibir ; “Karena ada mau!” Tapi sesungguhnya, hal ini syah-syah saja ; manusiawi!Perubahan seperti ini justru mengingatkan kita semua, bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang telah ditakdirkan hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan.

Dan sudah menjadi hokum-Nya, ketika kita mem-butuhkan orang lain, kita juga harus bisa menghormati dan menghargai mereka, membuat mereka merasa nyaman dengan kehadiran kita.

Jadi sangat lumrah jika para caleg kita tiba-tiba tampil sebagai sosok yang lebih baik di musim kampanye ini. Justru aneh jika mereka menunjukkan perilaku yang buruk dan mengundang antipati masyarakat di saat-saat yang menentukan ini.

Selalu ada kebaikan da-lam setiap keadaan. Alangkah bijaknya jika kita tidak langsung mencibir. Tidak mustahil per-formance simpatik para caleg kita ini akan terus terbawa, bukan hanya selama masa kampanye.

Pemilihan para wakil rakyat ini, setidaknya, bisa menjadi ajang perbaikan akhlak. Dari sini, para caleg kita bisa mulai memperbaiki diri, sebelum benar-benar terpilih sebagai wakil rakyat.

Kalaupun nantinya tidak terpilih, akhlak baik itu tetap dibutuhkan dalam kehidupan ber-masyarakat. Bukan begitu, Pak? (*)

*Dian Amrullah

Logo Measa Aroa

Logo, Warna dan Makna

Segi Tiga Sama Ss (Kuning: PT INCO, Pemerintah, Masyarakat)
Kepala Anoa (Coklat: Simbol daerah Luwu/Sulawesi)
Anggrek Hutan (Ungu: Hutan Luwu Timur)
Tulisan Sanggar Seni (Biru)
Tulisan Measa Aroa (Merah)

Sanggar Seni Measa Aroa dikawal oleh individu-individu kreatif yang tergabung dalam sebuah tim yang solid, kapabel dan kompeten di bidang masing-masing.

Personil yang tergabung dalam keanggotaan terdiri dari pemuda lokal Sorowako yang mempunyai keahlian yang berbeda-beda dan mempunyai potensi luar biasa yang bisa digabungkan dan dikembangkan