“Jika kau berjanji, berusahalah sekuat tenaga menepatinya. Dan jika ternyata kau tak sanggup, minta maaflah!”
Kata-kata Ika itu terus saja menggema di ruang benakku. Mungkin karena emosi.
Langit di atas danau Matano sudah jingga. Matahari sebentar lagi terbenam. Pantai Ide mulai sepi. Semua pengunjung sudah pulang. Tinggal aku sendirian. Tapi ia belum juga muncul. Padahal sudah lebih sejam aku menunggunya di sini.
Sudah lebih dari lima kali pula aku coba menghubunginya, tapi hpnya tidak aktif.
“Tepati janji, tepati janji….mana? Bulshit!” sungutku sambil menghempaskan pantatku di atas tembok tepi pantai.
“Atau mungkin dia lagi sibuk ya?” kataku kemudian, mencoba meredam kesal.
Angin sepoi-sepoi berhembus. Pe-mandangan pantai Ide indah sekali. Kucoba menikmatinya sendiri.
Sudah sekitar enam bulan ini, setiap Minggu sore aku dan Ika ke sini, ngobrol sambil menikmati keteduhan Pantai.
Aku sebenarnya awalnya kurang suka berada di tempat sepi seperti ini. Aku lebih suka ngumpul sama teman-teman. Ikalah yang membuatku betah, lalu ketagihan, nongkrong di sini.
Persahabatanku dengannya belum terlalu lama, belum genap setahun.
Di kelas I kami beda kelas, jadi tidak saling kenal. Nanti di kelas II ini, kami sekelas.
Cewek kurus itu pintar dan tenang. Kalau diajak bicara, lebih banyak tersenyum. Kontras sekali dengan aku yang cerewet dan temperamental.
Baru sebulan kami sekelas, kami langsung akrab. Aku suka dengan gayanya,
meski menurut teman-teman kampungan. “Nda’ gaul!” kata mereka.
Aku tak peduli. Aku pun tak peduli dengan gosip yang beredar bahwa Ika menderita penyakit menular yang sangat berbahaya.
“Benar. Sejak kecil aku sudah kena paru-paru basah!” katanya saat ia ku-konfirmasi tentang gosip itu.
Saat mengatakan itu, ia ter-senyum, tenang. Tak sedikit pun kesedihan tergambar di wajahnya. Dan itu membuatku kagum.
Kami semakin akrab. Setiap kali aku dapat masalah, aku curhat ke dia.
“Semua orang tua ingin mem-berikan yang terbaik untuk anaknya. Kalau permintaanmu belum mereka penuhi, pasti karena mereka punya pertimbangan sendiri,” katanya saat kuungkapkan kekesalanku pada ortuku yang tak mau membelikanku laptop.
Banyak sekali kata-katanya yang selalu kuingat, termasuk soal janji. Nasehat itu ia berikan saat aku berantem dengan teman-teman gara-gara janji yang tak kutepati.
Sebaliknya, aku tak pernah men-dengar keluhannya. Saat aku bertanya tentang itu, ia pun hanya tersenyum.
“Aku lahir bersama penyakit yang terus menggerogotiku. Ayahku bukan karyawan Inco, cuma karyawan biasa di kontraktor, jadi aku tak bisa bersenang-senang seperti kalian. Tapi aku tak punya alasan untuk mengeluh. Hidup ini indah. Mustahil Tuhan menciptakanku untuk menderita!” katanya.
Sedikit demi sedikit, sifat tempera-mentalku menurun. Aura ketenangan Ika agaknya mempengaruhiku.
Aku pun mulai menjauhi kebia-saanku ngumpul dengan teman-teman, berteriak-teriak, maleda’-leda’.
Dan suatu sore, ia mengajakku ke Pantai Ide. Dari situlah aku mulai ketagihan.
“Ada saatnya kita harus me-nyendiri, jauh dari keramaian!” katanya saat pertama kali kami ke sini sore itu.
Aku ingat, terakhir kali kami di sini, Minggu sore lalu, ia lebih banyak diam. Matanya menatap langit, seolah menerawang sesuatu di sana.
Dan hari Jum’at lalu, sebelum berpisah sepulang sekolah, seperti biasa kami janjian untuk kembali bertemu di sini sore ini.
“Mungkin memang dia tidak bisa datang!” batinku.
Aku lalu berdiri, bersiap pulang. Tapi saat membalikkan badan, kulihat Ika berjalan ke arahku. Wajahnya tampak pucat.
“Kau sakit ya?” tanyaku khawatir begitu ia tiba.
Dia tersenyum seperti biasa.
“Penyakitku kambuh tadi siang. Tapi sekarang sudah baikan. Sori, di rumah lagi ada acara, jadi aku tak bisa datang tepat
waktu,” katanya.
“kenapa tidak istirahat saja di rumah?” kataku lagi.
“Tidak apa-apa ji. Tapi maaf, aku harus segera pulang lagi. Keluargaku menunggu. Tadi aku ke sini naik ojek. Tuh tukang ojeknya nunggu di atas!” katanya.
“Iya ya…pulanglah cepat. Minum obat terus langsung bobo, ya?” pesanku.
Ia mengangguk, tersenyum, lalu berbalik, berjalan meninggalkanku dengan langkah cepat, sampai punggungnya menghilang dari pan-danganku.
“Sudah maghrib. Aku juga harus pulang sekarang!” gumamku, lalu melangkah menuju sepeda motorku yang terparkir di bawah pohon dengen.
Di perjalanan, perasaanku tidak enak. Wajah Ika terus mem-bayangiku. Di pertigaan, kubelokkan motorku, menuju rumahnya. Firasatku menuntunku.
Pekarangan rumah Ika tampak ramai. Sebuah tenda biru berdiri, menaungi jejeran kursi plastik. Perasaanku semakin tak enak. Ku-hentikan sepeda motorku, lalu turun.
Ibu Ika menyambutku.
“Ika sudah pergi, Nak. Tadi siang dia menghembuskan nafas ter-akhirnya!” katanya sambil menangis.
Hah? Tadi siang? Lalu yang barusan menemuiku di Pantai Ide siapa?
Pandanganku gelap. Badanku lemas. Aku langsung jatuh tak sadarkan diri. (*) Buat Anto : “Kematian bukan akhir. Sampai jumpa di kehidupan berikut, Bro!”
M.D. Zaky